BENUANTA – Bicara tentang pendidikan dan Bulungan tidak mungkin lepas dari berbicara tentang Islam di Bulungan. Sejak awal kemunculan pemerintahan lokal yang didirikan oleh Datuk Mancang (1555-1595) yang kemudian dikenal dengan sebutan Dinasti Wira (cikal bakal Kesultanan Bulungan), masyarakat Bulungan telah memeluk agama Islam. Khususnya yang berada di Kampung Baratan dan Kuala Pengian wilayah pemerintahan awal Dinasti Wira.
Kedatangan muballigh-muballigh dari Brunei, Sulawesi, Palembang, Banjar dan khususnya dari Hadhramaut, menjadi penguatan bahwa pemerintahan di Bulungan berazaskan Islam. Hal tersebut ditandai dengan perubahan pola pemerintahan menjadi kesultanan. Dengan sultan pertama Wira Amir (1731-1777) yang kemudian lebih dikenal sebagai Sultan Amiril Mukminin.
Sejak awal berdirinya, pendidikan Islam telah diajarkan dengan metode sederhana di masjid dan surau-surau. Anak-anak diajar membaca Al-Qur’an, tulis-menulis huruf Arab murni maupun Jawi (Arab Melayu), dan hukum-hukum syari’at dan aqidah. Sedang untuk keluarga kesultanan biasanya memiliki guru mengaji khusus dan tinggal di Istana.
Barulah pada masa pemerintahan Sultan Kasimuddin (1901-1925), Sultan Bulungan yang kedelapan, pendidikan di Bulungan mulai menunjukkan perubahan. Sistem klasikal mulai diperkenalkan oleh Belanda di Bulungan. Tercatat sekolah-sekolah pemerintah Hindia Belanda mulai dibangun, keberadaan sekolah-sekolah ini diketahui dari catatan Datuk Perdana:
“… Tahun 1911 barulah mulai didirikan dua buah sekolah jang dinamakan sekolah desa pertama Tandjung Selor kedua Tandjung Palas.
Didirikan disana klas I sampai klas III tammat, tahun itu djuga menjusul pembukaan sekolah Gouvernement klas II untuk sambungan sekolah desa tersebut berdjumlah tingkat pertama dan kedua itu didjadikan 5 klas.
Di bahagian pedalaman dimulai pada tahun 1923 barulah sekolah disana dibuka hingga sekarang.Sekolah-sekolah diperuntukan untuk kaum bumi putra ini adalah sekolah kelas II, untuk mendidik calon-calon pegawai rendah sedangkan untuk sekolah kelas I diperuntukan bagi anak-anak dari golongan atas.”
Untuk menekan pengaruh pemerintah Kolonial Belanda di bidang pendidikan, Sultan Kasimuddin yang dikenal dekat dengan Ulama dan Habaib mengundang seorang ulama dari Wajo, H. Syahabuddin Ambo Tuwo sebagai guru agama Islam di Istana Kesultanan Bulungan. Beliau pula lah yang kemudian menulis naskah Alquran dan dalam waktu cukup lama naskah tersebut disimpan oleh kerabat kesultanan.
Sekitar tahun 1940-an, kebangkitan pendidikan Islam di Bulungan mencapai eskalasi yang sangat berarti. Dapat dikatakan sebagai Nahdah Al Islamiyyah atau kebangkitan Islam khususnya dalam bidang pendidikan. Hal ini ditandai dengan datangnya seorang Alim Ulama dari Palu (Sulteng) beserta rombongannya, ialah Habib Idrus bin Salim Aljufrie pendiri perguruan Islam Alkhairaat. Kedatangan beliau tak lain adalah membangun madrasah untuk membina kader-kader Islam.
Bak gayung bersambut, niatan tersebut direstui oleh Sultan Bulungan kesepuluh Maulana Mohammad Djalaluddin (1931-1958), maka berdirilah dua madrasah di Tanjung Palas dan Tanjung Selor. Tepat tanggal 15 April 1940, diresmikan Madrasah Al-Ulum di Tanjung Palas dan Al-Ma’arif di Tanjung Selor. Kedua madrasah tersebut didirikan secara swadaya dan disponsori oleh beberapa tokoh saat itu seperti, Syekh Salim Djuma’an Godal, Enci Muhammad hamid, Andi Adam Petta Lolo dan H. Abdul Fattah Abdul Ghani.
Kegiatan kedua madrasah berlangsung antara tahun 1940-1941 dan sempat terhenti pada saat 20.000 tentara Jepang menduduki Tarakan pada 12 Januari 1942. Pada jam 03.00 pagi 5 Februari 1942 tentara Jepang memasuki Tanjung Selor dan Tanjung Palas, Habib Idrus bin Salim Aljufri beserta ustadz-ustadz pengajar diungsikan ke kampung Sekang oleh Syekh Salim Jum’an menggunakan perahu tempel saat itu. Setelah kejadian tersebut Habib Idrus Aljufrie kembali ke Palu denganmenumpang perahu Bugis (Pinishi) dan menetap di sana.
Habib Idrus Aljufrie lah orang pertama yang meletakan dasar pendidikan Islam modern di Bulungan. Karena saat itu sekolah milik Gouvernement Belanda yang menerapkan sistem klasikal dan cendrung berkurikulum sekuler, sehingga jauh dari nuansa keagamaan. Maka pendirian madrasah yang dirintis oleh beliau dan masyarakat Bulungan dengan sistem klasikal modern merupakan usaha untuk mendobrak sistem pendidikan agama islam di Bulungan yang pada masa itu yang masih menganut sistem pembelajaran tradisional. Itulah sebabnya Madrasah Al-Ma’arif dan Madrasah Al-Ulum merupakan model pendidikan berbasis agama Islam pertama di Bulungan yang setara dengan pendidikan modern Belanda yang mengabaikan pendidikan agama.
Bulungan yang kemudian adalah Kalimantan Utara dalam lingkup yang luas. Benuanta yang berazaskan keagamaan dalam tradisi dan pendidikan. Tidaklah elok jika dewasa ini kita mulai lupa dan enggan mempelajari dan menerapkan nilai-nilai agama dalam kehidupan. (*)
*Ditulis oleh M Zarkasy, pemerhati sejarah Bulungan dan Guru di Pondok Pesantren Alkhairaat Tanjung Selor.
Artikel sudah pernah diterbitkan pada 1 Mei 2018 dengan judul, “Refleksi Sejarah Pendidikan di Bulungan“. Redaksi menilai perlu menerbitkan kembali untuk menambah khazanah pengetahuan.