Indonesia Menang Sengketa Dagang Kelapa Sawit di WTO, Buktikan Diskriminasi Uni Eropa

Redaksi

Indonesia Menang Sengketa Dagang Kelapa Sawit di WTO, Buktikan Diskriminasi Uni Eropa
Ilustrasi sawit.

BENUANTAPemerintah Indonesia berhasil membuktikan adanya diskriminasi oleh Uni Eropa (UE) dalam sengketa dagang kelapa sawit di Badan Penyelesaian Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (Dispute Settlement Body World Trade Organization/DSB WTO).

Hal itu tertuang dalam Laporan Hasil Putusan Panel WTO (panel report) yang disirkulasikan pada 10 Januari 2025. Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso, dalam keterangan di Semarang, Jawa Tengah, Kamis, mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia menyambut baik Putusan Panel WTO ini.

Budi menyampaikan, Putusan Panel WTO pada sengketa dagang sawit dengan Uni Eropa yang dikaitkan dengan isu perubahan iklim menjadi dasar agar UE tidak sewenang-wenang dalam memberlakukan kebijakan diskriminatif.

“Kami harap, di masa depan, negara mitra dagang lainnya tidak memberlakukan kebijakan serupa yang berpotensi menghambat arus perdagangan global,” kata Budi dikutip Antara, Sabtu (18/1/2025).

Secara umum, Panel WTO menyatakan bahwa UE melakukan diskriminasi dengan memberikan perlakuan yang kurang menguntungkan terhadap biofuel berbahan baku kelapa sawit dari Indonesia dibandingkan dengan produk serupa dari UE seperti rapeseed dan bunga matahari. UE juga memberikan keuntungan lebih kepada produk sejenis yang diimpor dari negara lain seperti kedelai.

Selain itu, Panel WTO menilai UE gagal meninjau data yang digunakan untuk menentukan biofuel dengan kategori alih fungsi lahan kelapa sawit berisiko tinggi (high ILUC-risk) dan ada kekurangan dalam penyusunan serta penerapan kriteria serta prosedur sertifikasi low ILUC-risk dalam Renewable Energy Directive (RED) II.

Oleh karena itu, UE diwajibkan menyesuaikan kebijakan di dalam Delegated Regulation yang dipandang melanggar aturan WTO.

“Indonesia melihat kebijakan tersebut sebagai bentuk tindakan proteksionisme dengan dalih isu kelestarian lingkungan yang sering didengungkan oleh Uni Eropa,” ujarnya.

Pada Desember 2019, Indonesia menggugat pertama kali UE di WTO dengan nomor kasus DS593: European Union-Certain Measures Concerning Palm Oil and Oil Palm Crop-Based Biofuels. Gugatan mencakup kebijakan RED II dan Delegated Regulation UE, serta kebijakan Prancis yang menjadi hambatan akses pasar kelapa sawit sebagai bahan baku biofuel. Hambatan tersebut terkait pembatasan konsumsi biofuel berbahan baku kelapa sawit sebesar 7 persen, kriteria (high ILUC-risk), dan ketentuan penghentian penggunaan biofuel berbahan baku kelapa sawit secara bertahap (phase out).

Berdasarkan peraturan WTO, jika tidak ada keberatan dari para pihak yang bersengketa, panel report akan diadopsi dalam kurun waktu 20-60 hari setelah disirkulasikan kepada Anggota WTO, sehingga laporan tersebut bersifat mengikat kepada Indonesia dan UE. UE kemudian akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mematuhi kewajibannya sesuai putusan Panel WTO.

Mendag mengatakan, Pemerintah Indonesia akan memonitor secara ketat perubahan regulasi UE agar sesuai dengan putusan dan rekomendasi DSB WTO, khususnya terkait unsur diskriminasi yang dimenangkan Indonesia. Jika diperlukan, Pemerintah Indonesia juga akan menilai kepatuhan (compliance panel) terhadap hal tersebut.

Secara paralel, Pemerintah Indonesia terus berupaya membuka akses pasar produk sawit Indonesia di pasar UE melalui berbagai forum perundingan.

“Keberhasilan Indonesia dalam memenangkan sengketa dagang di WTO merupakan hasil dari langkah proaktif dan koordinasi yang intensif para pemangku kepentingan di dalam negeri seperti kementerian dan lembaga terkait, pelaku industri, asosiasi kelapa sawit Indonesia, tim ahli, dan tim kuasa hukum Pemerintah Indonesia,” ujar Budi.

Bagikan:

Baca Juga