Benuanta.id – Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua MK kepada Anwar Usman. Keputusan ini dibacakan Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie saat membacakan putusan nomor 2/MKMK/L/11/2023.
Jimly mengatakan bahwa Anwar Usman terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama, yakni Prinsip Ketidakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, serta Prinsip Kepantasan dan Kesopanan.
“Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada hakim terlapor,” kata Jimly.
Selain itu, Jimly menegaskan bahwa Anwar Usman tidak berhak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan MK sampai masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir.
Lebih lanjut, Anwar juga tidak diperbolehkan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum mendatang.
“Hakim terlapor tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pemilihan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan,” ucap Jimly.
Putusan Majelis Kehormatan ini merupakan buntut dari laporan masyarakat atas dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi oleh Anwar Usman. Laporan tersebut diterima MKMK pada tanggal 24 Oktober 2023.
MKMK telah menyelesaikan pemeriksaan terhadap 21 laporan yang masuk. Pemeriksaan kepada pelapor dimulai dengan rapat dengan agenda klarifikasi pada hari Kamis (26/10) dan berakhir dengan sidang terbuka pada hari Jumat (3/11).
Di sisi lain, pemeriksaan terhadap terlapor juga telah dirampungkan. Secara beruntun sejak Selasa (31/10) hingga Jumat (3/11) MKMK melakukan sidang tertutup kepada sembilan hakim konstitusi yang dilaporkan.
MKMK memeriksa hakim konstitusi sebanyak satu kali, kecuali Ketua MK Anwar Usman sebanyak dua kali. Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa pemeriksaan terhadap Ketua MK harus dilakukan lebih dari satu kali karena Anwar Usman mendapatkan laporan terbanyak.
Adapun laporan tersebut bermunculan pasca-putusan MK yang mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Warga Negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A. dari Surakarta, Jawa Tengah.
Atas putusan tersebut, Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu selengkapnya berbunyi “Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Putusan itu menjadi kontroversi karena dinilai memuluskan jalan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, keponakan Anwar Usman, untuk melaju sebagai bakal calon wakil presiden 2024.
Putusan ini menuai beragam reaksi dari berbagai pihak.
Sebagian pihak menilai putusan ini tepat karena Anwar Usman terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi.
Sebagian pihak lainnya menilai putusan ini berlebihan karena Anwar Usman hanya salah satu dari sembilan hakim konstitusi yang terlibat dalam putusan tersebut.
Meskipun demikian, putusan ini telah menjadi preseden penting bagi penegakan kode etik dan perilaku hakim konstitusi di Indonesia. (Antara)